Kesepakatan global yang dituangkan dalam Milenium development Goals
(MDG’s) memiliki tujuan besar untuk mengurangi bencana kelaparan dan
kemiskinan. Berbicara tentang hal ini tentunya tidak terlepas dari
bagaiman masalah pangan bahkan juga gizi yang menjamin peningkatan taraf
hidup rakyat dari semua lapisan masyarakat mencerminkan bagaimana
keberhasilan pembangunan manusia dan masyarakat seluruhnya.
Di Indonesia Ketersediaan pagannya dapat dikatakan cukup besar dan berasal dari produksi sendiri, Indonesia memproduksi sekitar 31 juta ton beras setiap tahunnya dan mengkonsumsi sedikit diatas tingkat produksi tersebut, dimana impor umumnya kurang dari 7% konsumsi, Indonesia memiliki sumber daya yang cukup untuk menjamin ketahanan pangan bagi penduduknya. Indikator ketahanan pangan juga menggambarkan kondisi yang cukup baik. namun ketersediaan pangan yang melimpah melebihi kebutuhan pangan penduduk tidak menjamin bahwa seluruh penduduk terbebas dari kelaparan dan gizi kurang. Sehingga pada kenyataannya masih banyak penduduk di Indonesia yang kebutuhan pangan dan gizinya belum terpenuhi, kasus busung lapar menunjukkan adanya permasalahan ketahanan pangan.
Hal ini berhubungan erat dengan ketersediaan dan tingkat kualitas konsumsi pangan. Selain dari pada itu stabilitas ketersediaan pangan di Indonesia masih bergantung pada musim misalnya pada paceklik musiman. Ada saat bahan pangan tidak ada, tidak beli karena tidak punya uang, dan tidak bisa tanam karena climate change (perubahan iklim), selain dari pada itu akses dan keterjangkauan kualitas konsumsi pangannya masih sangat rendah, juga sangat mempengaruhi kebutuhan pangan dan gizi penduduk.
Adanya perbedaan-perbedaan permasalahan potensi atau sumberdaya di setiap daerah mengharuskan adanya kebijakan pangan terutama terkait dengan ketersediaan pangan dan gizi secara spesifik di daerah, agar program dapat dilaksanakan dengan baik, tepat sasaran dan berdampak nyata.
Dalam hal ini biasanya pemerintahan hanya fokus pada pangan sumber karbohidrat dan energi. Yang penting harga beras murah, padahal bagaimana dengan sumber protein, sedangkan harga daging gila-gilaan, lalu bagaimana dengan sumber zat gizi yang lain?? Seperti zat pengatur, yaitu vitamin dan mineral. Tentu saja air yang cukup. Factor ekonomi menjadikan pola daya fikir masyarakat sekarang asal kenyang saja dan murah, lebih ke selera kantong dan perut, sehingga tidak terpikir gizi terpenuhi atau belum.
Mungkin ketahanan pangan nasional dapat membaik dengan dilakukannya peningkatan produksi pangan, Meskipun kemandirian pangan cukup baik ketergantungan pangan terhadap impor beberap komuditas seperti beras, jagung kedelai dan susu yang relative tinggi mungkin diperlukan adanya adopsi tekhnologi baik dalam perbenihan, pembibitan, pengolahan hasil, sehingga produktivitas dan mutu impor dapat ditingkatkan , Pemerintah juga perlu mengintervensi mekanisme pasar yang tidak berjalan normal. Misalnya, ketika harga pangan membubung tinggi, peran untuk menahan laju harga menjadi penting, Perlu diperhatikan pula aksesibilitas ekonomis, dalam arti apakah harganya terjangkau dan tidak secara financial, atau makanannya ada, tetapi harganya mahal, tetap tidak aksesibel. Perlu peran pemerintah bagaimana caranya agar dengan daya beli yang terbatas, mereka dapat menunjang kehidupan mereka dengan sebaik-baiknya. Program pemerintah untuk menyediakan pangan yang murah bagi masyarakat dengan taraf ekonomi rendah diharapkan tidak saja berorientasi kepada pemenuhan kalori, tetapi seharusnya diimbangi dengan program penyediaan gizi protein. Sehingga tidak ada ada lagi Nelayan yang kerjanya menangkap ikan tidak makan ikan, karena semua dijual untuk membeli kebutuhan pangan yang lain. Kebijakan yang lain adalah perlunya peningkatan informasi mengenai gizi. Beberapa survey daerah menunjukkan bahwa pengetahuan ibu tentang gizi masih kurang, Masih kurangnya kesadaran terhadap masalah gizi karena rendahnya tingkat pendidikan dan kurangnya pengetahuan menjadi penghambat upaya perbaikan gizi.
Di Indonesia Ketersediaan pagannya dapat dikatakan cukup besar dan berasal dari produksi sendiri, Indonesia memproduksi sekitar 31 juta ton beras setiap tahunnya dan mengkonsumsi sedikit diatas tingkat produksi tersebut, dimana impor umumnya kurang dari 7% konsumsi, Indonesia memiliki sumber daya yang cukup untuk menjamin ketahanan pangan bagi penduduknya. Indikator ketahanan pangan juga menggambarkan kondisi yang cukup baik. namun ketersediaan pangan yang melimpah melebihi kebutuhan pangan penduduk tidak menjamin bahwa seluruh penduduk terbebas dari kelaparan dan gizi kurang. Sehingga pada kenyataannya masih banyak penduduk di Indonesia yang kebutuhan pangan dan gizinya belum terpenuhi, kasus busung lapar menunjukkan adanya permasalahan ketahanan pangan.
Hal ini berhubungan erat dengan ketersediaan dan tingkat kualitas konsumsi pangan. Selain dari pada itu stabilitas ketersediaan pangan di Indonesia masih bergantung pada musim misalnya pada paceklik musiman. Ada saat bahan pangan tidak ada, tidak beli karena tidak punya uang, dan tidak bisa tanam karena climate change (perubahan iklim), selain dari pada itu akses dan keterjangkauan kualitas konsumsi pangannya masih sangat rendah, juga sangat mempengaruhi kebutuhan pangan dan gizi penduduk.
Adanya perbedaan-perbedaan permasalahan potensi atau sumberdaya di setiap daerah mengharuskan adanya kebijakan pangan terutama terkait dengan ketersediaan pangan dan gizi secara spesifik di daerah, agar program dapat dilaksanakan dengan baik, tepat sasaran dan berdampak nyata.
Dalam hal ini biasanya pemerintahan hanya fokus pada pangan sumber karbohidrat dan energi. Yang penting harga beras murah, padahal bagaimana dengan sumber protein, sedangkan harga daging gila-gilaan, lalu bagaimana dengan sumber zat gizi yang lain?? Seperti zat pengatur, yaitu vitamin dan mineral. Tentu saja air yang cukup. Factor ekonomi menjadikan pola daya fikir masyarakat sekarang asal kenyang saja dan murah, lebih ke selera kantong dan perut, sehingga tidak terpikir gizi terpenuhi atau belum.
Mungkin ketahanan pangan nasional dapat membaik dengan dilakukannya peningkatan produksi pangan, Meskipun kemandirian pangan cukup baik ketergantungan pangan terhadap impor beberap komuditas seperti beras, jagung kedelai dan susu yang relative tinggi mungkin diperlukan adanya adopsi tekhnologi baik dalam perbenihan, pembibitan, pengolahan hasil, sehingga produktivitas dan mutu impor dapat ditingkatkan , Pemerintah juga perlu mengintervensi mekanisme pasar yang tidak berjalan normal. Misalnya, ketika harga pangan membubung tinggi, peran untuk menahan laju harga menjadi penting, Perlu diperhatikan pula aksesibilitas ekonomis, dalam arti apakah harganya terjangkau dan tidak secara financial, atau makanannya ada, tetapi harganya mahal, tetap tidak aksesibel. Perlu peran pemerintah bagaimana caranya agar dengan daya beli yang terbatas, mereka dapat menunjang kehidupan mereka dengan sebaik-baiknya. Program pemerintah untuk menyediakan pangan yang murah bagi masyarakat dengan taraf ekonomi rendah diharapkan tidak saja berorientasi kepada pemenuhan kalori, tetapi seharusnya diimbangi dengan program penyediaan gizi protein. Sehingga tidak ada ada lagi Nelayan yang kerjanya menangkap ikan tidak makan ikan, karena semua dijual untuk membeli kebutuhan pangan yang lain. Kebijakan yang lain adalah perlunya peningkatan informasi mengenai gizi. Beberapa survey daerah menunjukkan bahwa pengetahuan ibu tentang gizi masih kurang, Masih kurangnya kesadaran terhadap masalah gizi karena rendahnya tingkat pendidikan dan kurangnya pengetahuan menjadi penghambat upaya perbaikan gizi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar